Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah dua perayaan besar dalam agama Hindu di Bali yang sarat dengan makna religius dan budaya. Hari raya Galungan dan Kuningan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari sekali.
dengan menggunakan perhitungan kalender Bali, hari raya Galungan jatuh pada rahina (hari) Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan). Sedangkan, hari raya Kuningan jatuh pada rahina (hari) Saniscara Kliwon Kuningan (Sabtu Kliwon wuku Kuningan).
Kedua hari raya ini tidak hanya menjadi momen penting bagi umat Hindu di Bali. Pada hari tersebut, mereka juga mempererat hubungan sosial dan kekeluargaan. Disini, Info Bali Today akan mengulas sejarah, makna, dan tradisi dari Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Sejarah Hari Raya Galungan
Asal Usul
Hari Raya Galungan merupakan perayaan dari kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Legenda menyebutkan bahwa perayaan ini terkait dengan kemenangan Dewa Indra melawan raja Bali yang jahat, Sang Mayadenawa.
Sang Mayadenawa adalah raja yang tidak mengizinkan rakyatnya untuk menyembah para dewa dan menjalankan ritual keagamaan. Dewa Indra turun untuk menyelamatkan rakyat Bali dari penindasan Mayadenawa, dan kemenangan ini diperingati sebagai Hari Raya Galungan.
Perkembangan Sejarah
Sejak zaman kuno, Hari Raya Galungan telah menjadi pelaksanaan upacara Dewa Yadnya masyarakat Bali. Seiring waktu, perayaan ini mengalami perkembangan, namun esensinya tetap sama. Galungan kini dirayakan dengan lebih banyak kemeriahan dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik di desa maupun di kota.
Hingga saat ini, perayaan Galungan tetap menjadi hari raya yang sakral bagi umat Hindu Bali untuk memperkuat iman dan ketaatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Makna dan Filosofi Galungan
Secara religius, Galungan menandai momen penting di mana kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Umat Hindu Bali mempersembahkan banten dan berdoa di merajan dan pura serta perlindungan dari para dewa dan leluhur. Galungan juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk introspeksi diri dan memperbaiki kualitas spiritual.
Galungan tidak hanya memiliki makna religius, tetapi juga sosial. Pada masa ini, keluarga dan kerabat berkumpul, saling mengunjungi, dan merayakan kebersamaan.
Hal ini memperkuat ikatan kekeluargaan dan solidaritas di antara masyarakat Bali. Hari raya Galungan biasanya menjadi waktu mempertemukan keluarga dekat maupun jauh.
Tradisi dan Ritual Galungan
Persiapan menyambut Galungan dimulai beberapa hari sebelumnya, dengan hari yang disebut Penapian, Penyajaan, dan Penampahan Galungan. Salah satu simbol paling penting dari persiapan ini adalah penjor, yaitu tiang bambu yang dihiasi dengan janur, bunga, dan hasil bumi seperti buah-buahan dan padi. Penjor ditempatkan di depan rumah sebagai simbol kemakmuran dan penghormatan kepada dewa.
Pada hari Galungan, umat Hindu Bali mengenakan pakaian adat dan sembahyang pura-pura (tempat ibadah) untuk berdoa dan memberikan persembahan. Mereka membuat berbagai jenis banten (sesajen) yang dipersembahkan kepada dewa dan leluhur. Upacara ini diiringi dengan gamelan, doa, dan mantra untuk memohon kesejahteraan dan kedamaian.
Setelah Galungan, ada hari yang disebut Umanis Galungan, yang merupakan hari untuk bersantai dan menikmati waktu bersama keluarga. Pada hari ini, masyarakat biasanya saling mengunjungi dan menikmati hidangan khas Bali. Umanis Galungan menandai akhir dari rangkaian ritual Galungan dengan suasana yang lebih santai dan penuh kegembiraan.
Baca juga: Daftar Gubernur Yang Pernah Memimpin Provinsi Bali
Sejarah Hari Raya Kuningan
Asal Usul
Hari Raya Kuningan dirayakan sepuluh hari setelah Galungan, dan menandai turunnya roh leluhur yang telah disucikan mengunjungi bumi. Menurut kepercayaan Hindu Bali, Kuningan adalah waktu yang istimewa di mana manusia dapat mengirim doa dan persembahan kepada leluhur mereka yang sudah kembali ke alam spiritual.
Perkembangan Sejarah
Seperti halnya Galungan, Kuningan juga telah dirayakan sejak zaman kuno dan menjadi bagian penting dari kalender upacara Hindu di Bali. Kuningan merupakan hari penutup dari rangkaian perayaan Galungan, dan seiring waktu, tradisi dan ritual yang menyertainya tetap dipertahankan dengan baik oleh masyarakat Bali.
Makna dan Filosofi Kuningan
Kuningan memiliki makna religius yang mendalam. Pada hari ini, umat Hindu Bali memohon kedamaian dan perlindungan dari para dewa dan leluhur. Persembahan pada hari Kuningan diyakini memberikan berkah khusus, dan umat Hindu mempercayai bahwa doa-doa yang dipanjatkan pada hari ini akan didengar oleh roh leluhur.
Selain makna religius, Kuningan juga memperkuat hubungan sosial di antara komunitas. Hari ini menjadi momen untuk mengadakan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya yang melibatkan seluruh masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini menciptakan ikatan yang kuat antarwarga dan memperkuat solidaritas komunitas.
Tradisi dan Ritual Kuningan
Menjelang Kuningan, umat Hindu Bali mempersiapkan sesajen khusus yang dikenal sebagai “tamiang” dan “endongan.” Tamiang adalah janur yang dibentuk melingkar menyerupai perisai, simbol perlindungan, sedangkan endongan adalah anyaman janur yang berisi makanan, simbol kesejahteraan. Persiapan ini dilakukan dengan penuh ketelitian dan kesungguhan.
Pada hari Kuningan, keluarga berkumpul di pura keluarga dan desa untuk berdoa. Mereka mempersembahkan sesajen dan melakukan upacara untuk menghormati leluhur. Selain itu, mereka juga menempatkan sesajen di tempat-tempat tertentu di rumah dan pekarangan sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur dan dewa-dewa pelindung.
Setelah Kuningan, kegiatan sehari-hari kembali seperti biasa, namun dengan semangat baru yang diperoleh dari rangkaian perayaan. Kesejahteraan dan kedamaian yang diharapkan dari doa dan persembahan pada hari Kuningan diharapkan membawa pengaruh positif dalam kehidupan sehari-hari.
Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan momen penting bagi masyarakat Bali untuk merayakan kemenangan kebaikan, memperkuat ikatan spiritual, dan mempererat hubungan sosial.
Sejarah, makna, dan tradisi yang melekat pada kedua hari raya ini menunjukkan betapa kaya dan mendalamnya budaya serta kepercayaan masyarakat Bali. Melalui perayaan ini, nilai-nilai kebaikan, kerukunan, dan kebersamaan terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan memahami dan menghormati tradisi ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan spiritual dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali.