Pulau Bali yang dikenal sebagai surga wisata dunia, kini menghadapi realitas pahit yang dirasakan langsung oleh penduduk lokalnya.
Di tengah gemerlap pariwisata yang membawa peluang ekonomi besar, banyak orang Bali justru terjepit oleh harga tanah yang melambung tinggi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.
Kondisi ini memunculkan perasaan bahwa mereka seperti “katak dalam tempurung”. Terjebak dalam lingkungan yang terus berubah tetapi tidak memberi ruang bagi mereka untuk berkembang.
Harga Tanah di Bali Melonjak, Mimpi yang Dikubur
Seiring dengan meningkatnya investasi dari luar negeri dan domestik, harga tanah di Bali telah melesat jauh dari jangkauan kebanyakan warga lokal. Sebidang tanah yang dulunya terjangkau kini berubah menjadi barang mewah. Laporan menunjukkan bahwa harga tanah di daerah strategis seperti Kuta, Seminyak, atau Ubud telah mencapai miliaran rupiah per are (100 m²). Bahkan di kawasan yang lebih terpencil, harga tanah tetap tinggi akibat spekulasi dan minat investor.
Situasi ini membuat banyak orang Bali merasa “mengubur mimpi” untuk memiliki tanah di kampung halamannya sendiri. Mereka harus rela tinggal di pinggiran atau bahkan menyewa tanah untuk melanjutkan kehidupan sehari-hari. Kadang, banyak orang merasa kami merasa seperti tamu di rumah sendiri.
Pariwisata Bagaikan Pisau Bermata Dua
Pariwisata di Bali memang telah menjadi penggerak utama ekonomi pulau ini. Namun, pariwisata seperti pisau bermata dua, perkembangannya juga membawa dampak negatif yang signifikan. Banyak tanah adat yang dulunya menjadi tempat ritual dan budaya kini berubah fungsi menjadi hotel, villa, atau restoran mewah. Hal ini bukan hanya mengikis akses masyarakat lokal terhadap tanah, tetapi juga mengancam keberlangsungan tradisi dan adat istiadat Bali.
Baca juga: 30 Siswa Wisuda Lansia di Wreda Dharma Sesana Klungkung
Tidak sedikit pula yang membandingkan situasi ini dengan nasib masyarakat Betawi di Jakarta, yang kehilangan banyak tanah leluhurnya akibat pembangunan kota dan urbanisasi. Hal ini menuai sorotan Bali takut akan menjadi seperti Jakarta, di mana penduduk asli hanya menjadi penonton. Bahkan DPD Bali, Arya Wedakarna menyoroti juga warga bali sibuk ritual, sedangkan investor sibuk mencari untung
Warga Lokal Terjepit dan Terpinggirkan
Selain harga tanah yang mahal, kebutuhan hidup sehari-hari di Bali juga terus meningkat. Biaya bahan pokok, pendidikan, dan layanan kesehatan semakin tinggi, membuat banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Banyak orang Bali yang akhirnya beralih menjadi pekerja di sektor pariwisata dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan biaya hidup.
Ironisnya, meskipun menjadi tulang punggung industri pariwisata, warga lokal sering kali tidak menikmati hasil dari perkembangan tersebut. Keuntungan besar justru mengalir ke investor luar, sementara penduduk lokal harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
Masih Adakah Harapan untuk Tanah di Bali bagi Orang Bali?
Di tengah situasi yang semakin sulit, pertanyaan besar muncul. Masih bisakah Bali menjadi rumah bagi orang Bali? Beberapa pihak optimis bahwa regulasi yang mendukung hak tanah adat dan pembatasan kepemilikan asing dapat menjadi solusi. Namun, tanpa langkah konkret, harapan ini hanya akan menjadi mimpi belaka.
Bali dengan segala keindahan dan pesonanya, tentu rumah bagi budaya yang kaya dan masyarakat yang unik. Namun, jika pembangunan dan investasi tidak diarahkan untuk keberlanjutan dan kesejahteraan bersama, dikhawatirkan Bali hanya akan menjadi surga bagi wisatawan dan investor, sementara penduduk lokal terus terpinggirkan.
Kisah ini adalah pengingat bahwa pembangunan harus selalu memperhatikan aspek sosial dan budaya. Bali bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga tanah air bagi jutaan orang Bali yang ingin hidup dan berkembang di tanah kelahirannya sendiri. Jika tidak ada perubahan, mimpi memiliki tanah di Bali mungkin akan menjadi kenangan yang terkubur selamanya.