Banten Saiban merupakan sebuah persembahan sehari-hari yang disebut nyadnya sesa. Di Bali, banten saiban juga seringkali dikenal dengan istilah “ngejot”.
Tradisi ini merupakan bagian dari Nitya Karma, yaitu upacara yang dilakukan secara rutin. Banten saiban sendiri termasuk dalam kategori bhuta yadnya, yang merupakan salah satu dari lima jenis yadnya (panca yadnya).
Tempat-tempat di mana banten saiban biasanya dilakukan, berdasarkan Manawa Dharmasastra, meliputi Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum, batu asahan, lesung, dan sapu.
Kelima tempat terakhir ini dianggap sebagai lokasi di mana secara tidak sengaja keluarga melakukan himsa karma, yakni pembunuhan terhadap binatang dan tumbuhan, dalam kegiatan sehari-hari.
Menurut Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75, dosa-dosa yang terjadi saat mempersiapkan makanan sehari-hari bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Oleh karena itu, tradisi ini tidak boleh diabaikan, karena akan diwariskan dari generasi ke generasi, dan jika tidak dilakukan dengan benar, orang Bali akan mewariskan kebiasaan yang salah. Hubungan harmonis dengan Tuhan, yang diwujudkan melalui banten saiban, harus terus dipupuk dalam masyarakat Bali.
Ini juga harus diajarkan kepada generasi muda melalui pendidikan nilai budi pekerti dan nilai-nilai luhur orang Bali, agar budaya ini tidak mengalami penurunan.
Baca juga: Lawar Makanan Khas Bali Punya Banyak Warna dan Makna
Makna Banten Saiban “Ngejot”
Yadnya sesa atau mebanten saiban adalah penerapan ajaran kesusilaan dalam Hindu yang menekankan sikap anersangsya (tidak mementingkan diri sendiri) dan ambeg para mertha (mendahulukan kepentingan orang lain). Setelah memasak, manusia wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan adalah sumber kehidupan.
Tujuan dari mesaiban adalah sebagai ungkapan syukur atas apa yang diberikan oleh Hyang Widhi. Yadnya berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa demi memperoleh kesucian jiwa. Selain menghubungkan diri dengan Tuhan, mesaiban juga bertujuan untuk berhubungan dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya, termasuk alam semesta beserta isinya.
Dengan menghaturkan banten saiban, kita juga menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan, sebagaimana tercermin dalam konsep Tri Hita Karana, yaitu menjaga keseimbangan antara manusia dengan lingkungan.
Hewan-hewan seperti semut, burung, dan ayam juga mendapatkan bagian dari persembahan tersebut. Tradisi ini telah mengajarkan kepedulian terhadap lingkungan sejak lama.
Sarana yang Digunakan
Banten saiban adalah persembahan yang sangat sederhana, sehingga sarana yang digunakan pun sederhana. Biasanya, banten saiban dihaturkan dengan alas daun pisang yang diisi nasi, garam, dan lauk pauk sesuai dengan apa yang dimasak hari itu. Tidak ada keharusan untuk menggunakan lauk tertentu.
Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah yang dihaturkan dengan air bersih dan dupa menyala sebagai saksi persembahan. Namun, yang sederhana bisa dilakukan tanpa air dan dupa, karena esensi dari yadnya sesa adalah kesederhanaannya.
Tempat Menghaturkan Banten Saiban
Ada lima tempat utama untuk menghaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), yang melambangkan Panca Maha Bhuta:
- Pertiwi (tanah): Ditempatkan di pintu keluar rumah atau pintu halaman.
- Apah (air): Ditempatkan di sumur atau tempat air.
- Teja (api): Ditempatkan di dapur, pada tempat memasak (tungku) atau kompor.
- Bayu (udara): Ditempatkan pada beras atau nasi.
- Akasa (angkasa): Ditempatkan di tempat sembahyang (pelangkiran atau pelinggih).
Tempat-tempat ini adalah lokasi di mana keluarga melakukan himsa karma sehari-hari, seperti yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Dosa-dosa yang terjadi saat mempersiapkan makanan sehari-hari bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Tradisi ini penting untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Selain itu penting juga untuk memastikan bahwa budaya luhur ini tetap dilestarikan oleh generasi mendatang.
Sumber: Desa Abian Semal